Rabu, 30 April 2014

Innalillah VS RIP

Bismillah,
Salah satu salah kaprah yg melanda/dilakukan kaum muslim adalah terkait dengan ucapan innalillahi dan RIP.
Saya awali artikel ini dengan sebuah berita kematian seseorang, katakan si X. Saya baca komentar-komentar yg masuk, ada yg menulis “RIP (Rest In Peace, beristirahat dengan damai) X, semoga bla 3x”. Nah, tulisan ini dikomentari oleh orang lain dengan isi lebih kurang (maaf, saya lupa redaksi lengkapnya) “Hei, RIP itu ucapan orang kafir! elo mesti tulis innalillahi bla 3x”.
Dan sayapun tertegun dengan komentar ini. Menurut saya, apa yg salah dengan RIP? Dan apakah memang innalillahi itu hanya untuk diucapkan saat mendapat berita kematian?
RIP, seperti yg telah saya tulis, jelas berasal dari bahasa Inggris dan lazim diucapkan apabila ada orang yg mati. Tujuannya jelas, semoga orang yg mati tersebut bisa beristirahat dengan damai (meski dalam ajaran Islam, orang yg mati belum tentu akan bisa beristirahat dg damai. insya ALLOH akan saya bahas di lain waktu mengenai hal ini), setelah (barangkali) menempuh/mengalami hal yg tidak menyenangkan di dunia. Bisa berupa sakit, hutang, ataupun penderitaan lain.

Namun toh demikian, mengingat masih begitu banyak kaum muslim di Indonesia yg sebegitu terpukaunya dg hal2 yg berbau Arab (yg BELUM TENTU Islami), maka saya merasa saya masih perlu utk menuliskan artikel ini.
Ucapan innalillahi sendiri sebenarnya salah kaprah juga di kalangan muslim di Indonesia. Hal ini karena ucapan ini seringkali identik dg orang yg meninggal.
“Eh, pak X meninggal dunia tadi pagi.”
“Innalillahi…”
Padahal, jika kita merujuk ke ayatnya, yakni Al Baqarah(2):155 dan 156,tertulis,“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, — (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, “Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji`uun”
Musibah tidak hanya berupa peristiwa kematian. Bagi kaum muslim, kematian bisa jadi bukan musibah, melainkan sesuatu yg sudah mereka tunggu, apalagi jika mereka menemui kematian dg cara berjihad.
Ucapan Innaa lillaahi SEMESTINYA diucapkan untuk SETIAP musibah/cobaan yg diterima, entah itu ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, dst.
So, bagi saya, RIP adalah salah satu bentuk ucapan berduka cita yg memang sudah dituangkan dalam bahasa Inggris. Jika dibandingkan dg Innaa lillaahi, bisa kita lihat jelas bahwa RIP lebih kecil dan spesifik scopenya. Innaa lillaahi sendiri punya wawasan yg lebih luas dan bisa digunakan untuk hal2 (musibah dan cobaan) lain.
Lalu, apakah RIP mesti dilarang diucapkan oleh seorang muslim? Saya akan bertanya kepada anda, dalil mana yg melarangnya? Apakah karena tasyabuh/menyerupai yg dijadikan acuan? Wallahualam.
Semoga bermanfaat.

Senin, 28 April 2014

Resiko Bank Syariah

Manajemen Resiko Bank Syariah

Oleh : Khamim
.                        A. Pendahuluan

Sebagai sebuah entitas bisnis, dalam kegiatan usahanya bank menghadapi resiko-resiko yang memiliki potensi mendatangkan kerugian. Resiko ini tidaklah bisa selalu dihindari tetapi harus dikelola dengan baik tanpa harus mengurangi hasil yang harus dicapai. Resiko yang dikelola dengan tepat dapat memberikan manfaat kepada Bank dalam menghasilkan laba. Agar manfaat tersebut dapat diraih maka para pengambil keputusan harus mengerti tentang risiko dan pengelolaannya.
Risiko dapat didefinisikan sebagai suatu potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat menimbulkan kerugian. Menurut Woorkbook level 1 Global Association of Risk Professionals- Badan Sertifikasi Manajemen Resiko (2005: A4) resiko didefinisikan sebagai “Chance of bad outcome” Maksudnya Risiko yaitu suatu kemungkinan akan terjadinya hasil yang tidak diinginkan , yang dapat menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi serta tidak dikelola semestinya.
Resiko dalam bidang perbankan merupakan suatu kejadian potensial baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif pada pendapatan maupun permodalan bank. Resiko-resiko tersebut tidak dapat dihindari namun dapat dikelola dan dikendalikan. Resiko ini haruslah dimanaj sedemikian rupa untuk dapat diminimalisir potensi terjadinya.
Seperti juga perbankan pada umumnya, maka bank syariah juga memerlukan prosedur dan tata kelola yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan resiko yang timbul dari kegiatan usaha yang dilakukannya, yang disebut sebagai manajemen resiko.
Berdasarkan keadaan dan lingkungan yang mempengaruhinya, resiko yang dihadapi bank dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar yaitu (1) Resiko yang bersifat sistemik (Systemic Risk), yakni resiko yang diakibatkan oleh adanya kondisi atau situasi tertentu yang bersifat makro seperti perubahan situasi politik, perubahan kebijakan ekonomi pemerintah, perubahan kondisi dan situasi pasar, situasi krisis atau resesi yang akan berpengaruh terhadap kondisi perekonomian secara umum. Dan (2) Risiko yang tidak sistemik (Unsystemic Risk) yaitu resiko unik yang inheren atau melekat pada perusahaan atau industri.
Dan berdasarkan kegiatan usahanya maka resiko tersebut mencakup; (1) Resiko Kredit (Credit Risk) –bagi bank syariah Resiko Pembiayaan (Financing Risk)- (2) Resiko Pasar (Market Risk) (3) Resiko Likuiditas (Liquidity Risk) (4) Resiko Operasional (Operational Risk) (5) Resiko Hukum (Legal Risk) (6) Resiko Reputasi (Reputation Risk) (7) Resiko Strategis (Strategic Risk) (8) dan Resiko Kepatuhan (Compliance Risk).
            B. Jenis-jenis Resiko Perbankan
            1. Resiko Kredit (Credit Risk)
Resiko kredit muncul jika bank tidak bisa memperoleh kembali  cicilan pokok dan atau bunga dari pinjaman yang diberikannya atau investasi yang sedang dilakukannya. Hal ini terjadi sebagai akibat terlalu mudahnya bank memberikan pinjaman atau melakukan investasi karena dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditasnya sehingga penilaian kredit menjadi kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan resiko untuk usaha yang dibiayainya.
Resiko menjadi semakin terlihat manakala perekonomian mengalami krisis atau resesi. Kelesuan ekonomi akan berdampak langsung pada menurunnya omzet penjualan perusahaan, sehingga perusahaan akan mengalami kesulitan untuk dapat memenuhi kewajiban membayar utang-utangnya. Demikian pula jika terjadi kenaikan tingkat bunga.
Kerugian bagi bank semakin bertambah apabila ternyata jaminan bagi pemberian kredit tidaklah memadai atau meng-cover pinjaman yang diberikan. Bank akan mengalami kesulitan yang berat jika ia terbelit dengan masalah kredit macet yang terlampau besar.
Bagi bank konvensional yang menyandarkan kegiatan usaha utamanya pada pemberian kredit, kemampuan meminimalisasi resiko kredit ini menjadi fokus utama sebab hal ini terkait langsung dengan kemampuannya untuk menghasilkan laba.
Dan bagi bank syariah, dimana kegiatan usaha penyaluran kredit digantikan dengan kegiatan jual beli, sewa, investasi dan partnership, manajemen resiko pembiayaan akan memiliki karakteristik yang unik, misalnya;
a.       Untuk transaksi Murabahah, bank syariah menghadapi resiko tidak dipenuhinya pembayaran yang telah diperjanjikan secara tepat waktu sementara bank telah melakukan penyerahan barang.
b.      Untuk Ba’i al Salam dan Istisna, bank menghadapi resiko kegagalan menyediakan barang dengan kualitas dan spesifikasi sesuai pesananan atau gagal menyediakan barang tepat pada waktu yang telah disepakati.
c.       Untuk Ijarah, bank menghadapi resiko rusaknya barang yang disewakan atau untuk kasus tenaga kerja yang disewa bank kemudian disewakan kepada nasabah, timbul resiko tidak perform-nya pemberi jasa.
d.      Untuk Mudharabah, bank sebagai Shahibul Mal mengahadapi resiko ketidak jujuran mudharib. Karakteristik dari Mudharabah adalah bahwa bank tidak dimungkinkan untuk terlibat dalam manajemen usaha Mudharib, yang mengakibatkan bank memiliki kesulitan tersendiri dalam assesment maupun kontrol terhadap pembiayaan yang diberikan.
                  2)  Resiko Pasar (Market Risk)
Resiko pasar adalah resiko kerugian yang dapat dialami bank melalui portofolio yang dimilikinya sebagai akibat pergerakan variabel pasar (adverse movement) yang tidak menguntungkan. Variabel pasar yang dimaksud adalah suku bunga (interest rate) dan nilai tukar (foreign exchange rate).
Meskipun bank syariah tidak berurusan dengan tingkat suku bunga, namun bagi Indonesia yang menerapkan dual banking system resiko ini akan berpengaruh secara tidak langsung yaitu pada pricing, mengingat nasabah yang dijangkau oleh bank syariah bukan saja nasabah-nasabah yang loyal secara penuh terhadap syariah, tetapi juga nasabah-nasabah yang akan menempatkan dananya ke tempat-tempat yang akan memberikan keuntungan maksimal baginya tanpa memperhitungkan halal atau haramnya.
Resiko nilai tukar terjadi pada portofolio valuta asing yang dimiliki bank. Apabila bank berada pada posisi beli (long position) melemahnya nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing akan mengakibatkan kerugian bagi bank. Sebaliknya jika bank berada pada posisi jual (short position) menguatnya nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing akan mengakibatkan kerugian bagi bank.
                  3) Resiko Likuiditas (Liquidity Risk)
Likuiditas secara umum dapat didefinisikan sebagai kemampuan bank untuk dapat memenuhi kebutuhan dana (cash flow) dengan segera. Nasabah menempatkan dananya di bank dalam jangka pendek (maksimum pada deposito berjangka waktu 24 bulan), sementara kredit atau pembiayaan umumnya adalah dengan jangka waktu yang lebih panjang. Bank dituntut untuk dapat menyediakan kecukupan dana bagi kebutuhan transaksi nasabah deposan. Ketidakmampuan bank dalam memenuhi kebutuhan likuiditas ini bahkan bisa mengakibatkan bank mengalami kebangkrutan.
Resiko likuiditas muncul manakala bank tidak mampu memenuhi kebutuhan dana (cash flow) dengan segera untuk memenuhi kebutuhan transaksi sehari-hari maupun guna memenuhi dana yang mendesak.
Bagi bank syariah, resiko likuiditas ini memiliki kesulitan tersendiri. Tidak seperti pada bank konvensional dimana kesulitan likuiditas ini dapat diatasi dengan pinjaman pasar uang antarbank (interbank call money market) dengan imbalan bunga. Meskipun keadaan ini di Indonesia telah dapat diatasi melalui pembentukan Pasar Uang Antarbank berdasarkan prinsip Syariah (PUAS) pada tahun 2000 melalui instrumen Investasi Mudharabah Antarbank (IMA) namun dengan anggota dan volume yang relatif masih terbatas.

                  4) Resiko Operasional (Operational Risk)
Resiko operasional adalah resiko akibat kurangnya (deficiencies) sistem informasi atau sistem pengawasan internal yang akan menghasilkan kerugian yang tidak diharapkan. Resiko ini mencakup kesalahan manusia (human error), kegagalan sistem, dan ketidakcukupan prosedur dan kontrol yang akan berpengaruh pada opersional bank.
Resiko operasional ini merupakan kesatuan sistem dari komponen-komponen operasional yaitu; sistem informasi, pengawasan internal, kesalahan manusia (human error), kegagalan sistem dan ketidak cukupan prosedur dan kontrol. Keseluruhan komponen tersebut haruslah mendapat perhatian guna menjamin keberlangsungan dan kesinambungan operasional bank 

5) Resiko Hukum (Legal Risk)
Resiko hukum adalah terkait dengan resiko bank yang menanggung kerugian sebagai akibat adanya tuntutan hukum, kelemahan dalam aspek legal atau yuridis. Kelemahan ini diakibatkan antara lain oleh ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat-syarat syahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna. 

6) Resiko Reputasi (Reputation Risk)
Resiko reputasi adalah resiko yang timbul akibat adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau karena adanya persepsi negatif terhadap bank. Hal-hal yang sangat berpengaruh pada reputasi bank antara lain adalah; manajemen, pelayanan, ketaatan pada aturan, kompetensi, fraud dan sebagainya. 

7) Resiko Strategis (Strategic Risk)
Resiko strategis timbul karena adanya penetapan dan pelaksanaan strategi usaha bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan-perubahan eksternal. Indikasi dari resiko strategis ini dapat dilihat dari kegagalan bank dalam mencapai target bisnis yang telah ditetapkan.

8) Resiko Kepatuhan (Compliance Risk)
Resiko kepatuhan timbul sebagai akibat tidak dipatuhinya atau tidak dilaksanakannya peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang berlaku atau yang telah ditetapkan baik ketentuan internal maupun eksternal.
Ketentuan internal berkaitan dengan aturan-aturan tertentu yang merupakan kebijakan yang ditetapkan manajemen, sedangkan ketentuan eksternal adalah ketentuan yang ditetapkan Pemerintah, Otoritas Moneter (Bank Indonesia) dan Dewan Syariah Nasional MUI.
Kajian Bank Indonesia (2003) menyimpulkan disamping risiko perbankan secara umum perbankan syariah memiliki keunikan dalam hal
·         Potensi adanya risiko investasi (income risk/equity investment risk)
·         Risiko likuiditas yang spesifik terkait dengan perbedaan return (rate of return risk)
·         Market risk yang spesifik dari perubahan harga persediaan
·         Legal risk yang spesifik terkait dengan transaksi menggunakan prinsip syariah
·         Risiko reputasi yang dikaitkan juga dengan pemenuhan prinsip syariah dalam operasional bank

'Produk' Perhimpunan Dana Bank Syariah

BAB IV. PRODUK PERBANKAN SYARIAH
Produk perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
(I) Produk Penyaluran Dana,
(II) Produk Penghimpunan Dana, dan
(III) Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya.
4.1. Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dana pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu:
1. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli.
2. Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa.
3. Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.

Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip jual-beli seperti murabahah, salam, dan istishna serta produk yang menggunakan prinsip sewa yaitu ijarah. Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi-hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati di muka. Produk perbankan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah musyarakah dan mudharabah.
4.1.1. Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip jual-beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi jual-beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti:
a. Pembiayaan Murabahah Murabahah bi tsaman ajil atau lebih dikenal sebagai murabahah. Murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan) adalah transaksi jual-beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah keuntungan. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Dalam perbankan, murabahah lazimnya dilakukan dengan cara pembayaran cicilan (bi tsaman ajil). Dalam transaksi ini barang diserahkan segera setelah akad sedangkan pembayaran dilakukan secara tangguh.
b. Salam Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, kualitas, harga, dan waktu penyerahan barang harus ditentukan secara pasti.
Dalam praktek perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasa¬bah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. Harga jual yang ditetapkan bank adalah harga beli bank dari nasabah ditambah keuntungan. Dalam hal bank menjualnya secara tunai biasanya disebut pembiayaan talangan (bridging financing). Sedangkan dalam hal bank menjualnya secara cicilan, kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual-beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad. Umumnya transaksi ini diterapkan dalam pembiayaan barang yang belum ada seperti pembelian komoditi pertanian oleh bank untuk kemudian dijual kembali secara tunai atau secara cicilan.
Ketentuan umum Salam:
• Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan jumlahnya. Misalnya jual beli 100 kg mangga harum manis kualitas “A” dengan harga Rp5000 / kg, akan diserahkan pada panen dua bulan mendatang.
• Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak sesuai dengan akad maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang yang sesuai dengan pesanan.
• Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau dipesannya sebagai persediaan (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog, pedagang pasar induk atau rekanan. Mekanisme seperti ini disebut dengan paralel salam.
c. Istishna
Produk istishna menyerupai produk salam, namun dalam istishna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.

Ketentuan umum:
• Spesifikasi barang pesanan harus jelas seperti jenis, macam ukuran, mutu dan jumlah. Harga jual yang telah disepakati dicantumkan dalam akad istishna dan tidak boleh berubah selama berlakunya akad. Jika terjadi perubahan dari kriteria pesanan dan terjadi perubahan harga setelah akad ditandatangani, maka seluruh biaya tambahan tetap ditanggung nasabah.

4.1.2. Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahaan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan syariah dikenal ijarah muntahhiyah bittamlik (sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan). Harga sewa dan harga jual disepakati pada awal perjanjian.

4.1.3. Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan prinsip bagi hasil adalah: a. Musyarakah
Bentuk umum dari usaha bagi hasil adalah musyarakah (syirkah atau syarikah atau serikat atau kongsi). Transaksi musyarakah dilandasi adanya keinginan para pihak yang bekerjasama untuk meningkatkan nilai asset yang mereka miliki secara bersama-sama. Termasuk dalam golongan musyarakah adalah semua bentuk usaha yang melibatkan dua pihak atau lebih dima¬na mereka secara bersama-sama memadukan seluruh bentuk sumber daya baik yang berwujud maupun tidak berwujud.
Secara spesifik bentuk kontribusi dari pihak yang bekerjasama dapat berupa dana, barang perdagangan (trading asset), kewiraswastaan (entrepreneurship), kepandaian (skill), kepemilikan (property), peralatan (equipment) , atau intangible asset (seperti hak paten atau goodwill), kepercayaan/reputasi (credit worthiness) dan barang-barang lainnya yang dapat dinilai dengan uang. Dengan merangkum seluruh kombinasi dari bentuk kontribusi masing-masing pihak dengan atau tanpa batasan waktu menjadikan produk ini sangat fleksibel.


Ketentuan umum:
Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana proyek. Pemilik modal dipercaya untuk menjalankan proyek musyarakah tidak boleh melakukan tindak¬an seperti:
• Menggabungkan dana proyek dengan harta pribadi.
• Menjalankan proyek musyarakah dengan pihak lain tanpa ijin pemilik modal lainnya.
• Memberi pinjaman kepada pihak lain.
• Setiap pemilik modal dapat mengalihkan penyertaan atau di¬gantikan oleh pihak lain.
• Setiap pemilik modal dianggap mengakhiri kerjasama apabila:
¥ Menarik diri dari perserikatan
¥ Meninggal dunia,
¥ Menjadi tidak cakap hukum
• Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan porsi kontribusi modal.
• Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana terse¬but bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.

b. Mudharabah
Secara spesifik terdapat bentuk musyarakah yang popular dalam produk perbankan syariah yaitu mudharabah. Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan. Bentuk ini menegaskan kerjasama dengan kontribusi 100% modal dari shahibul maal dan keahlian dari mudharib.

Transaksi jenis ini tidak mensyaratkan adanya wakil shahibul maal dalam manajemen proyek. Sebagai orang kepercayaan, mudharib harus bertindak hati-hati dan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang terjadi akibat kelalaian. Sedangkan sebagai wakil shahibul maal dia diharapkan untuk mengelola modal dengan cara tertentu untuk menciptakan laba optimal.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan atau salah satu diantara itu. Dalam mudharabah modal hanya berasal dari satu pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih. musyarakah dan mudharabah dalam literatur fiqih berbentuk perjanjian kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan menjunjung keadilan. Karenanya masing-masing pihak harus menjaga kejujuran untuk kepentingan bersama dan setiap usaha dari masing-masing pihak untuk melakukan kecurangan dan ketidakadilan pembagian pendapatan betul-betul akan merusak ajaran Islam.


Ketentuan umum:
• Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku pengelola modal; harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang dinyatakan nilainya dalam satuan uang. Apabila modal diserahkan secara bertahap, harus jelas tahapannya dan disepakati bersama.
• Hasil dan pengelolaan modal pembiayaan mudharabah dapat diperhitungkan dengan dua cara:
¥ (Perhitungan dari pendapatan proyek (revenue sharing)
¥ (Perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing)
• Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan dalam akad, pada setiap bulan atau waktu yang disepakati. Bank selaku pemilik modal menanggung seluruh kerugian kecuali akibat kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah, seperti penyeleweng-an, kecurangan dan penyalahgunaan dana.
• Bank berhak melakukan pengawasan terhadap pekerjaan namun tidak berhak mencampuri urusan pekerjaan/usaha nasabah. Jika nasabah cidera janji dengan sengaja misalnya tidak mau membayar kewajiban atau menunda pembayaran kewa¬jiban, dapat dikenakan sanksi administrasi.

Mudharabah Muqayyadah
Karakteristik mudharabah muqayadah pada dasarnya sama dengan persyaratan di atas. Perbedaannya adalah terletak pada adanya pembatasan penggunaan modal sesuai dengan permintaan pemilik modal.

4.1.4. Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.

a. Hiwalah (Alih Utang-Piutang) Hiwalah adalah transaksi mengalihkan utang piutang. Dalam praktek perbankan syariah fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang. Untuk mengantisipasi resiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan penelitian atas kemampuan pihak yang berutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang berutang. Katakanlah seorang supplier bahan bangunan menjual barangnya kepada pemilik proyek yang akan dibayar dua bulan kemudian. Karena kebutuhan supplier akan likuiditas, maka ia meminta bank untuk mengambil alih piutangnya. Bank akan menerima pembayaran dari pemilik proyek.

b. Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria :
• Milik nasabah sendiri.
• Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
• Dapat dikuasai namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank. Atas izin bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan. Apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, maka nasabah harus bertanggungjawab.
Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas perintah hakim. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank. Apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, maka ke-lebihan tersebut menjadi milik nasabah. Dalam hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, nasabah menutupi keku¬rangannya.

c. Qardh Qardh adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan biasanya dalam empat hal, yaitu :
Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran. Biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji.
Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM. Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan.
Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah, atau bagi hasil.
Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank me¬nyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikannya secara cicilan melalui pemotongan gajinya.

d. Wakalah (Perwakilan) Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.
Bank dan nasabah yang dicantumkan dalam akad pemberian kuasa harus cakap hukum. Khusus untuk pembukaan L/C, apabila dana nasabah ternyata tidak cukup, maka penyelesaian L/C (settlement L/C) dapat dilakukan dengan pembiayaan murabahah, salam, ijarah, mudharabah, atau musyakarah.
Kelalaian dalam menjalankan kuasa menjadi tanggung jawab bank, kecuali kegagalan karena force majeure menjadi tanggung jawab nasabah.
Apabila bank yang ditunjuk lebih dari satu, maka masing-masing bank tidak boleh bertindak sendiri-sendiri tanpa musyawarah dengan bank yang lain, kecuali dengan seizin nasabah.
Tugas, wewenang dan tanggung jawab bank harus jelas sesuai kehendak nasabah bank. Setiap tugas yang dilakukan ha¬rus mengatasnamakan nasabah dan harus dilaksanakan oleh bank. Atas pelaksanaan tugasnya tersebut, bank mendapat pengganti biaya berdasarkan kesepakatan bersama.
Pemberian kuasa berakhir setelah tugas dilaksanakan dan disetujui bersama antara nasabah dengan bank.

e. Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan tujuan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.

4.2. Produk Penghimpunan Dana
Penghimpunan dana di bank syariah dapat berbentuk giro, tabungan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadi’ah dan mudharabah.
4.2.1. Prinsip Wadiah
Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadi’ah dhamanah berbeda dengan wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah, pada prinsipnya harta titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi. Sedangkan dalam hal wadi’ah dhamanah, pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.
Karena wadi’ah yang diterapkan dalam produk giro perbankan ini juga disifati dengan yad dhamanah, maka implikasi hukumnya sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak sebagai yang meminjamkan uang, dan bank bertindak sebagai yang dipinjami. Jadi mirip seperti yang dilakukan Zubair bin Awwam ketika menerima titipan uang di jaman Rasulullah SAW’.

Ketentuan umum dari produk ini adalah:
• Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai sua¬tu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh diperjanjikan di muka.
• Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit card.
• Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan pengganti biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar terjadi.
• Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

4.2.2. Prinsip Mudharabah
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan murabahah atau ijarah seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana tersebut digunakan bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank menggunakannya untuk melakukan pembiayaan mudharabah, maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian yang terjadi2. Rukun mudharabah terpenuhi sempurna (ada mudharib - ada pemilik dana, ada usaha yang akan dibagi hasilkan, ada nisbah, ada ijab kabul). Prinsip mudharabah ini diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan deposito berjangka.


Berdasarkan kewenangan yang diberikan pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah terbagi tiga yaitu: a. Mudharabah mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana yaitu: tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berda¬sarkan prinsip ini tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.

Ketentuan umum dalam produk ini adalah:
• Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan; maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
• Untuk tabungan mudharabah, bank dapat memberikan buku tabungan sebagai bukti penyimpanan, serta kartu ATM dan atau alat penarikan lainnya kepada penabung. Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.
• Tabungan mudharabah dapat diambil setiap saat oleh penabung sesuai dengan perjanjian yang disepakati, namun tidak diperkenankan mengalami saldo negatif.
• Deposito mudharabah hanya dapat dicairkan sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati. Deposito yang diperpanjang, setelah jatuh tempo akan diperlakukan sama seperti de¬posito baru, tetapi bila pada akad sudah dicantumkan perpan¬jangan otomatis maka tidak perlu dibuat akad baru.
• Ketentuan-ketentuan yang lain yang berkaitan dengan tabungan dan deposito tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

b. Mudharabah Muqayyadah on Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan simpanan khusus (restricted investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya disyaratkan digunakan untuk bisnis tertentu, atau disyaratkan digu¬nakan dengan akad tertentu, atau disyaratkan digunakan untuk nasabah tertentu.

Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
• Pemilik dana wajib menetapkan syarat tertentu yang harus di¬ikuti oleh bank wajib membuat akad yang mengatur persyarat¬an penyaluran dana simpanan khusus.
• Bank wajib memberitahukan kepada pemilik dana mengenai nisbah dan tata cara pemberitahuan keuntungan dan atau pembagian keuntungan secara resiko yang dapat ditimbulkan dari penyimpanan dana. Apabila telah tercapai kesepakatan, maka hal tersebut harus dicantumkan dalam akad.
• Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya.
• Untuk deposito mudharabah, bank wajib memberikan sertifikat atau tanda penyimpanan (bilyet) deposito kepada deposan.

c. Mudharabah Muqayyadah off Balance Sheet
Jenis mudharabah ini merupakan penyaluran dana mudharabah langsung kepada pelaksana usahanya, dimana bank ber¬tindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana dengan pelaksana usaha. Pemilik dana dapat menetapkan syarat-syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank dalam mencari kegiatan usaha yang akan dibiayai dan pelaksana usahanya.

Karakteristik jenis simpanan ini adalah sebagai berikut :
• Sebagai tanda bukti simpanan bank menerbitkan bukti simpanan khusus. Bank wajib memisahkan dana dari rekening lainnya. Simpanan khusus dicatat pada pos tersendiri dalam rekening administratif.
• Dana simpanan khusus harus disalurkan secara langsung kepada pihak yang diamanatkan oleh pemilik dana.
• Bank menerima komisi atas jasa mempertemukan kedua pihak. Sedangkan antara pemilik dana dan pelaksana usaha berlaku nisbah bagi hasil.


4.2.3. Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan penghimpunan dana, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.

Wakalah (Perwakilan) Wakalah dalam aplikasi perbankan terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang.
4.3. Jasa Perbankan
Bank syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain berupa :
4.3.1. Sharf (Jual Beli Valuta Asing)
Pada prinsipnya jual-beli valuta asing sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini, penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.

4.3.2. ljarah (Sewa)
Jenis kegiatan ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian). Bank dapat imbalan sewa dari jasa tersebut.

baca sebelumnya : Buku Saku Perbankan Syariah (1/4) Buku Saku Perbankan Syariah (2/4) baca selanjutnya : Buku Saku Perbankan Syariah (4/4)
sumber:Sumber : http://www.scribd.com/doc/11839097/Buku-Saku-Perbankan-Syariah
https://saripedia.wordpress.com at perpus FAI senin, 28 april 2014 2:33

Sistem Penghimpunan dan Pengelolaan Dana Bank Syariah

BAB I
PENDAHULUAN

Menurut pasal 1 undang-undang No. 4 Tahun 2003 tentang Perbankan, Bank adalah Bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatan tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.
Sedangkan menurut pasal 1 undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan undang-undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank didefinisikan sebagai badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
 Dengan demikian jelas dinyatakan dalam kedua pasal di atas bahwa bank adalah lembaga keuangan yang menjalankan kegiatan usahanya baik secara syariah maupun konvensional dalam fungsinya sebagai intermediasi antara masyarakat yang memiliki dana lebih (deposan) dengan masyarakat yang membutuhkan dana (kreditur).
Dalam fungsinya sebagai intermediasi antara deposan dengan kreditur, maka bank harus melakukan kegiatan penghimpunan dana dari pihak deposan yang nantinya akan disalurkan kepada kreditur. Dalam makalah ini nantinya akan dibahas mengenai produk-produk penghimpunan serta pengelolaan dana secara syariah sesuai dengan subject yang dikenakan yaitu Bank Syariah. Demikian materi yang akan kami sampaikan dalam makalah ini, semoga dapat bermanfaat.


BAB II
SISTEM PENGHIMPUNAN DANA BANK SYARI’AH
A.    Pengertian
Pengertian penghimpunan dana adalah suatu kegiatan usaha yang dilakukan bank untuk mencari dana kepada pihak deposan yang nantinya akan disalurkan kepada pihak kreditur dalam rangka menjalankan fungsinya sebagai intermediasi antara pihak deposn dengan pihak kreditur.
B.     Sumber-sumber dana bank
Perbankan syari’ah merupakan lembaga yang menghimpun, mengelola dan menyalurkan dana. Oleh sebab itu, bank syari’ah membutuhkan sumber-sumber dana yang akan dikelola. Adapun sumber-sumber dana di bank syari’ah antara lain:
1.      Modal, yaitu dana yang diserahkan oleh pemilik. Pada akhir priode tahun buku, setelah dihitung keuntungan yang didapat pada tahun tersebut, pemilik modal akan memperoleh bagian dari hasil usaha yang biasa dikenal dengan deviden. Dana modal dapat dipergunakan untuk pembelian gedung, tanah, perlengkapan dan sebagainya.selain itu, modal juga dapat dipergunakan untuk hal-hal yang produktif, yaitu disalurkan menjadi pembiayaan.
2.      Titpan
3.      investasi
C.     Prinsip penghimpunan dana bank syari’ah
Dalam Bank Syariah, klasifikasi penghimpunan dana yang utama tidak didasarkan atas nama produk melainkan atas prinsip yang digunakan. Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional prinsip penghimpunan dana yang digunakan dalam bank syariah ada dua yaitu prinsip wadiah dan prinsip mudharabah
Prinsip wadiah dalam perbankan syariah dapat diterapkan pada kegiatan penghimpunan dana berupa giro dan tabungan. Di Indonesia, hampir semua Bank Syariah menerapkan prinsip wadiah pada tabungan giro. Giro wadiah adalah titipan pihak ketiga pada Bank Syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, kartu ATM, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan.
Penghimpunan dana dengan prinsip mudharabah, dapat dibagi atas dua skema yaitu skema muthlaqah dan skema muqayyadah. Dalam penghimpunan dana dengan prinsip mudharabah muthalaqah, kedudukan Bank Syariah adalah sebagai mudharib (pihak yang mengelola dana) sedangkan penabung atau deposan adalah pemilik dana (shahibul maal). Hasil usaha yang diperoleh bank selanjutnya dibagi antara bank dengan nasabah pemilik dana sesuai dengan porsi nisbah yang disepakati dimuka.
Dalam penghimpunan dana dengan pinsip mudharabah muqayyadah, kedudukan bank hanya sebagai agen saja, karena pemilik dana adalah nasabah pemilik dana mudharabah muqayyadah, sedang pengelola dana adalah nasabah pembiayaan mudharabah muqayyadah. Pembagian hasil usaha dilakukan antara nasabah pemilik dana mudharabah muqayyadah dengan nasabah pembiayaan mudharabah muqayyadah. Bank sebagai agen dalam hal ini menerima fee saja. Pola investasi terikat dapat dilakukan dengan cara chaneling dan executing. Pola chaneling adalah apabila semua risiko ditanggung oleh pemilik dana dan bank sebagai agen tidak menanggung risiko apapun. Pola executing adalah apabila bank sebagai agen juga menanggung risiko. Prinsip mudharabah muthlaqah dapat diterapkan dalam kegiatan usaha bank syariah untuk produk tabungan mudharabah dan deposito mudharabah.
Tujuan dari kegiatan penghimpunan dana adalah untuk memperbesar modal, memperbesar asset dan memperbesar kegiatan pembiayaan sehingga nantinya dapat mendukung fungsi bank sebagai lembaga intermediasi.
1.      Tabungan Wadi’ah
Salah satu prinsip yang digunakan bank syari’ah dalam memobilisasi dana adalah dengan menggunakan prinsip titipan. Adapun akad yang sesuai dengan prinsip ini ialah al-wadi’ah.[1]
Tabungan wadiah merupakan tabungan yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat sesuai dengan kehendak pemiliknya. Terkait dengan produk tabungan wadiah, Bank Syariah menggunakan akad wadiah yad adh-dhamanah. Dalam hal ini, nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada Bank Syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan Bank Syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi dana atau barang yang disertai hak untuk menggunakan atau memanfaatkan dana atau barang tersebut. Sebagai konsekuensinya, bank bertanggung jawab terhadap keutuhan harta titipan tersebut serta mengembalikannya kapan saja pemiliknya (nasabah) menghendaki. Di sisi lain, bank juga berhak sepenuhnya atas keuntungan dari hasil pemanfaatan harta titipan tersebut.
Dalam tabungan wadiah, bank dengan nasabah tidak boleh mensyaratkan pembagian hasil keuntungan atas pemanfaatan harta tersebut. Namun bank diperbolehkan memberikan bonus (fee) kepada pemilik harta titipan (nasabah) selama tidak disyaratkan dimuka. Dengan kata lain, pemberian bonus (fee) merupakan kebijakan bank yang bersifat sukarela.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik beberapa ketentuan umum berkenaan dengan tabungan wadiah, yaitu sebagai berikut:
  • Tabungan wadiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik.
  • Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi hak atau tanggung jawab bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijanjikan imbalan dan menanggung kerugian.
  • Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai insentif selama tidak diperjanjikan di akad awal pembukaan rekening.
2.      Tabungan Mudharabah
Prinsip lain yang digunakan bank syari’ah dalam menghimpun dana adalah dengan memakai prinsip investasi. Akad yang sesuai dengan prinsip ini adalah mudharabah. Tujuan dari mudharabah adalah kerja sama antara pemilik dana (shahibul mal) dan pengelola dana (mudharib) dalam hal ini adalah bank syari’ah.[2]
Yang dimaksud dengan tabungan mudharabah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan akad mudharabah. Mudharabah sendiri mempunyai dua bentuk, yakni mudharabah mutalaqah dan mudharabah muqayyadah, perbedaan yang mendasar diantara keduanya terletak pada ada atau tidaknya persyaratan yang diberikan pemilik harta kepada pihak bank dalam mengelola hartanya. Dalam hal ini, Bank Syariah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul mal (pemilik dana). Bank Syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib berhak untuk melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak lain. Namun, di sisi lain, Bank Syariah juga memiliki sifat sebagai seorang wali amanah (trustee), yang berarti bank harus berhati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya.
Dari hasil pengelolaan dana mudharabah, Bank Syariah akan membagikan hasil kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal akad pembukaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang terjadi bukan akibat kelalaiannya. Namun, bila yang terjadi adalah miss management (salah urus), bank bertanggung jawab penuh atas kerugian tersebut.
Dalam mengelola harta mudharabah, bank menutup biaya oprasional tabungan dengan hasil nisbah yang menjadi hak nasabah pemilik dana. Disamping itu, bank tidak diperkenankan mengurangi nisbah keuntungan nasabah penabung tanpa persetujuan nasabah yang bersangkutan. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku. PPH bagi hasil tabungan mudharabah dibebankan langsung ke rekening tabungan nasabah pada saat penghitungan bagi hasil.
3.      Simpanan Giro
Dalam bahasa sehari-hari kata simpanan sering disebut dengan nama rekening atau account, dimana artinya sama. Dengan demikian simpanan atau rekening berarti memiliki sejumlah uang yang disimpan di bank tertantu atau dengan kata lain simpanan adalah dana yang diamanahkan oleh masyarakat untuk dititipkan di bank. Dana dana tersebut kemudian dikelola oleh bank dalam bentuk simpanan, seperti trekening giro, rekening tabungan dan rekening deposito unutk kemudian diusahakan kembali dengan cara disalurkan ke masyarakat.
Pengertian giro menurut Undang-Undang Perbankkan Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 adalah Simpanan yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah lainnya atau dengan cara pemindah bukuan.[3]
Secara umum, yang dimaksud dengan giro adalah cek, bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya, atau dengan pemindahbukuan. Adapun yang dimaksud dengan giro syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro yang benar secara syariah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
Yang dimaksud giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Dalam konsep wadiah yad al-dhamanah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Hal ini berarti wadiah yad dhamanah mempunyai implikasi hukum yang sama dengan qardh, yakni nasabah bertindak sebagai pihak yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai pihak yang dipinjami. Dengan demikian, pemilik dana dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk memberikan imbalan atas penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang titipan tersebut.
Dalam kaitannya dengan produk giro, Bank Syariah menerapkan prinsip wadiah yad dhamanah, yakni nasabah bertindak sebagai penitip yang memberikan hak kepada Bank Syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan Bank Syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi yang disertai hak untuk mengelola dana titipan dengan tanpa kewajiban memberikan bagi hasil dari keuntungan pengelolaan dana tersebut. Namun Bank Syariah diperkenankan untuk memberikan insentif berupa bonus (fee) dengan catatan tidak diperjanjikan sebelummnya.
Dari pemaparan di atas, maka dapat dinyatakan beberapa ketentuan umum giro wadiah sebagai berikut:
  • Dana wadiah dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersial dengan syarat bank harus menjamin pembayaran kembali nominal dana wadiah tersebut.
  • Keuntungan atau kerugian dari pegelolaan dana menjadi milik atau ditanggung bank, sedangkan pemilik tidak dijanjikan imbalan atau menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak diperjanjikan di awal.
  • Pemilik dana wadiah dapat menarik kembali dananya sewaktu-waktu (on call), baik sebagian maupun seluruhnya.
4.      Simpanan Deposito
Yang juga termasuk produk bank dalam bidang penghimpunan dana (founding) adalah deposito. Berdasarkan undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan deposito berjangka adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu-waktu tertentu menurut perjanjian antara penyimpan dengan bank yang bersangkutan.
Adapun yang dimaksud dengan deposito syariah adalah deposito yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syariah Nasional MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa deposito yang dibenarkan adalah deposito yang berdasarkan prinsip mudharabah
Dalam hal ini, Bank Syariah bertindak sebagai mudharib (pengelola dana), sedangkan nasabah bertindak sebagai shahibul mal (pemilik dana). Dalam kapasitasnya sebagai mudharib, Bank Syariah dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah serta mengembangkannya, termasuk melakukan akad mudharabah dengan pihak ketiga.
Dengan demikian, Bank Syariah dalam kapasitasnya sebagai mudharib memiliki sifat sebagai wali amanah (trustee), yakni harus bertindak hati-hati atau bijaksana serta beritikad baik dan bertanggung jawab atas segala sesuatu yang timbul akibat kesalahan atau kelalaiannya. Di samping itu, Bank Syariah juga bertindak sebagai kuasa dari usaha bisnis pemilik dana yang diharapkan dapat memperoleh keuntungan seoptimal mungkin tanpa melanggar aturan syariah.
Dari hasil pengelolaan dana mudharabah, Bank Syariah akan membagikan hasil keuntungan kepada pemilik dana sesuai dengan nisbah yang telah disepakati di awal akad pembukaan rekening. Dalam mengelola dana tersebut, bank tidak bertanggung jawab atas kerugian yang terjadi bukan akibat kelalaiannya. Namun, apabila yang terjadi adalah miss management (salah urus), maka bank bertanggung jawab penuh atas kerugian tersebut.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pemilik dana terhadap bank, terdapat dua bentuk mudharabah, yaitu:
  • Mudharabah Mutalaqah
  • Mudharabah Muqayyadah
Dalam deposito mutalaqah, pemilik dana tidak memberikan batasan atau persyaratan tertentu kepada pihak Bank Syariah dalam mengelola investasinya, baik berkenaan dengan tempat, cara, maupun objek investasinya. Dengan kata lain, Bank Syariah mempunyai hak dan kebebasan penuh dalam mengelola dan menginvestaikan dana mudharabah muthalaqah ini ke berbagai sektor bisnis yang diperkirakan akan memperoleh keuntungan.
Berbeda dengan deposito mudharabah mutalaqah, dalam deposito mudharabah muqayyadah, pemilik dana memberikan batasan atau persyaratan tertentu kepada Bank Syariah dalam mengelola investasinya, baik berkenaan dengan tempat, cara, maupun objek investasinya. Dengan kata lain, Bank Syariah tidak mempunyai hak dan kebebasan sepenuhnya dalam menginvestasikan dana mudharabah muqayyadhah ini ke berbagai sektor bisnis yang diperkirakan akan memperoleh keuntungan.
a.       Deposito berjangka
Deposito berjangka merupakan deposito yang diterbitkan dengan jenis jangka waktu tertentu. Deposito berjangka diterbitkan atas nama baik perorangan maupun lembaga. Artinya, di dalam bilyet deposito tercantum nama seseorang atau lembaga si pemilik deposito berjangka. Dan penarikan deposito ini dapat dilakukan jika sujah jatuh tempo.[4]
b.      Sertifikat deposito
Sama seperti deposito berjangkan, sertifikat deposito merupakan deposito yang diterbitkan berdasarkan jangka waktu tertentu. Bedanya, kalau sertifikat deposito diterbitkan atas unjuk dalam bentuk sertifikat serta dapat diperjualbelikan atau dipindahtangankan kepada pihak lain.
BAB III
SISTEM PENGELOLAAN DANA BANK SYARI’AH
A.    Pendahuluan
Bank syari’ah adalah lembaga perantara anatara pemilik dana dengan pemakai dana. Sebagaimana pengertian bank di atas, disini bank mengambil peran pemilik dana untuk mengelola dana tersebut dengan cara menyalurkannya kepada pihak yang membutuhkan dana.
Dalam penyaluran dana tersebut, bank syari;ah dapat melakukannya dengan cara memberikan pembiayaan, dimana pembiayaan ini merupakan salah satu tugas pokok bank untuk mendapatkan keuantungan.
Menurut sifat pengunaannya, pembiayaan dapat dibagi menjadi dua hal berikut:
1.      Pembiayaan produktif, yaitu pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam arti luas, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi, perdagangan, maupun investasi.
2.      Pembiayaan konsumtif, yaitu pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi, yang akan habis digunakan untuk memenuhi kebutuhan.
Menurut keperluannya, pembiayaan produksi dapat dibagi menjadi dua, yaoitu:
1.      Pembiayaan modal kerja, yaitu pembiayaan untuk memenuhi kebutuhan: (a) peningkatan produksi baik secara kuantitatif, yaitu jumlah hasil produksi, maupun secara kualitatif, yaitu peningkatan kualitas atau mutu hasil produksi; dan (b) untuk keperluan perdagangan.
2.      Pembiayaan investasi, yaitu untuk memenuhi kebutuhan barang-barang modal serta fasilitas-fasilitas yang erat kaitannya dengan investasi sendiri.[5]
B.     Pembiayaan modal kerja
Unsur-unsur modal kerja terdiri atas komponen-komponen alat likuid, piutang dagang, dan persediaan yang umumnya terdiri atas persediaan bahan baku, persediaan barang dalam proses, dan persediaan barang jadi. Oleh karena itu, pembiayaan modal kerja merupakan salah satu atau kombinasi dari pembiayaan likuiditas, pembiayaan pitang dan pembiayaan persediaan.
Bank syari’ah dalam membantu memenuhi kebutuhan modal kerja bukan dengan meminjamkan uang, melainkan dengan menjalin hubungan partnership dengan nasabah, dimana bank bertindak sebagai penyandang dana (shahibul mal), sedangkan nasabah sebagai pengusaha atau pengelola (mudharib). Pembiayaan semacam ini disebut dengan mudharabah. Adapun keuntungan transaksi jenis ini adalah bagi hasil/rugi dari pengelolaan dana tersebut.
1.      Pembiayaan likuiditas
Pembiayaan ini pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang timbul akibat terjadinya ketidaksesuaian (mismatched) antara cash inflow dan cash outflow pada perusahaan nasabah.
Bank syari’ah dapat menyediakan fasilitas ini dalam bentuk qard timbale balik atau yang disebut dengan compensating balance. Melalui fasilitas ini nasabah membuka rekening giro dan bank tidak memberikan bonus atas giro tersebut. Bila nasabah mengalami situasi mismatched, nasabah dapat menarik dana melebihi saldo yang tersedia sehingga menjadi negative sampai maksimum jumlah yang disepakati dalam akad. Atas fasilitas ini, bank tidak dibenarkan meminta imbalan apa pun kecuali sebatas biaya administrasi pengelolaan fasilitas tersebut.
2.      Pembiayaan persediaan
Pada bank konvensional dapat kita jumpai adanya kredit modal kerja yang dipergunaka untuk mendanai pengadaan persediaan.
Bank syari’ah mempunyai mekanisme tersendiri untuk memenuhi kebutuhan pendanaan persediaan tersebut, yaitu antara lain dengan menggunakan prinsip jual beli dalam dua tahap. Tahap pertama, bank mengadakan (membeli dari supplier secara tunai) barang-barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Tahap kedua, bank menjual kepada nasabah pembeli denganpembayaran tangguh dan dengan mengambil keuntungan yang disepakati bersama antara bank dan nasabah. Adapun jenis akad yang digunakan dalam pembiayaan jenis ini bias dengan akad al-murabahah, al-istisna’, as-salam.
C.     Pembiayaan investasi
Pembiayaan investasi diberikan kepada nasabah untuk keperluan investasi. Keperluan investasi secara umum dapat dipenuhi dengan pembiayaan berpola bagi hasil dengan akad mudharabah maupun musyarakah. Sebagai contoh, pembuatan pabrik baru, perluasan pabrik, usaha baru, perluasan usaha, dan sebagainya.
Dengan cara ini, bank syari’ah dan pengusaha merbagi resiko usaha yang saling menguntungkan dan adil. Agar bank syari’ah dapat berperan aktif dalam kegiatan usaha dan mengurangi kemungkinan risiko, seperti moral hazard (jebakan moral), maka bank dapat memilih untuk menggunakan akad musyarakah.[6]
Melihat luasnya aspek yang harus dikelola dan dipantau maka untuk pembiayaan investasi bank syari’ah menggunakan musyarakah mutanaqishah. Dalam hal ini bank memberikan pembiayaan dengan prinsip penyertaan, dan secara bertahap bank melepaskan penyertaannya dan pemilik perusahaan akan mengambil alih usaha tersebut.
Skema lain yang dapat digunakan oleh bank syari’ah adalah al-ijarah al-muntahiya bit-tamlik, yaitu menyewakan barang modal dengan opsi diakhiri dengan kepemilikan.
D.    Pembiayaan konsumtif
Pembiayaan konsumtif diperlukan oleh pengguna dana untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan akan habis dipakai untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumsi dapat dibedakan atas kebutuhan primer (pokok) dan kebutuhan skunder.kebutuhan primer adalh kebutuhan pokok, baik berupa barang, seperti makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, maupun berupa jasa, seperti pendidikan dasar dan pengobatan.
Adapun kebutuhan skunder adalah kebutuhan tambahan yang secara kualitatif maupun kuantitatif yang lebih tinggi atau lebih mewah dari kebutuhan primer baik berupa barang, seperti makanan dan minuman, pakaian/perhiasan, bangunan rumah, kendaraandan sebagainya, maupun berupa jasa, seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pariwisata, hiburan dan sebagainya.
Pada umumnya, bank syari’ah membatasi pemberian biaya untuk pemenuhan barang tertentu yang dapat disertai dengan bukti kepemilikan yang sah. Seperti rumah, kendaraan bermotor yang kemudian menjadi barang jaminan utama.[7]


BAB IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perbankan syari’ah merupakan lembaga yang menghimpun, mengelola dan menyalurkan dana. Oleh sebab itu, bank syari’ah membutuhkan sumber-sumber dana yang akan dikelola. Adapun sumber-sumber dana di bank syari’ah antara lain: modal,titipan dan investasi.
Dalam Bank Syariah, klasifikasi penghimpunan dana yang utama tidak didasarkan atas nama produk melainkan atas prinsip yang digunakan. Berdasarkan fatwa Dewan Syariah Nasional prinsip penghimpunan dana yang digunakan dalam bank syariah ada dua yaitu prinsip wadiah dan prinsip mudharabah
B.     Saran
Dari uraian diatas, kami menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih terdapat banyak kesalahan dan masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, jika pembaca menemukan kesalahan dan kekurangan dalam makalah ini dengan senang hati kami menerima saran maupun kritik dari pembaca demi sempurnanya materi dalam makalah ini.


BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Syafi’i Antonio, Muhammad (2001), Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Jakarta.
Kasmir (2010), Manajemen Perbanka,  Jakarta.
Ascarya (2008), Akad & Produk Bank Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


[1] Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta, 2001), h. 148
[2] Ibid., hal. 150
[3] Kasmir, Manajemen Perbanka,  (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 50
[4] Ibid., hal. 63
[5] Syafi’I Antonio, Muhammad, op. cit., h. 161
[6] Ascarya, Akad & Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 126
[7] Syafi’I Antonio, Muhammad, op. cit., h. 168
--> http://trialbydoing.blogspot.com at senin, 28 april 2014 2:18