Rabu, 30 September 2015

Pembiayaan Bank Syariah

Mr Jef

Dalam lembaga perbankan baik itu perbankan konvensional ataupun syariah dalam operasionalnya meliputi 3 aspek pokok, yaitu penghimpunan dana (funding), pembiayaan (financing) dan jasa (service). Menurut Undang-Undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, bank umum syariah dalam usaha untuk menghimpun dana dari Masyarakat dalam bentuk tabungan,giro dan deposito.

A.      Pengertian Pembiayaan
Pada dasarnya fungsi utama Bank Syariah tidak jauh beda dengan bank konvensional yaitu menghimpun dana dari masyarakat kemudian menyalurkannya kembali atau lebih dikenal sebagai fungsi intermediasi. Dalam prakteknya bank syariah menyalurkan dana yang diperolehnya dalam bentuk pemberian pembiayaan, baik itu pembiayaan modal usaha maupun untuk komsumsi.
Adapun pengertian pembiayaan menurut berbagai litertur yang ada sebagai berikut, Menurut Undang-Undang No.10 Tahun 1998 Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang di biayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Menurut M. Syafii Antonio. (2001;160), Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Pembiayaan adalah pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak yang merupakan defisit unit.
Menurut Muhammad (2002;260), Manajemen Bank Syariah. Pembiayaan dalam secara luas diartikan sebagai pendanaan yang di keluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan baik  dilakukan sendiri maupun dijalankan  oleh orang lain. 
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pembiayaan adalah pemberian fasilitas penyediaan dana untuk mendukung investasi yang telah direncanakan berdasarkan kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.

B.       Jenis-Jenis Pembiayaan Bank Syariah
Menurut Muhammad (2002;91), Manajemen Bank Syariah. Penyaluran dananya pada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi dalam empat kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaanya yaitu:

1.      Pembiayaan dengan prinsip Jual Beli ( Ba’i )
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (Transfer Of Property) Tingkat keuntungan ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
Transaksi jual beli dapat dibedakan berdasarkan bentuk pembayaran dan waktu penyerahan yakni sebagai berikut:
a.    Pembiayaan Murabahah
Menurut definisi Ulama Fiqh Murobahah adalah akad jual beli atas barang tertentu. Dalam transasksi penjualan tersebut penjual menyebutkan secara jelas barang yang akan dibeli termasuk harga pembelian barang dan keuntungan yang akan diambil.
Dalam perbankan Islam, Murobahah merupakan akad jual beli antara bank selaku penyedia barang dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Dari transaksi tersebut bank mendapatkan keuntungan jual beli yang disepakati bersama. Selain itu murobahah juga merupakan jasa pembiayaan oleh bank melalui transaksi jual beli dengan nasabah dengan cara cicilan. 
Dalam hal ini bank membiayai pembelian barang yang dibutuhkan oleh nasabah dengan membeli  barang tersebut dari pemasok kemudian mejualnya kepada nasabah dengan menambahkan biaya keuntungan (cost-plus profit) dan ini dilakukan melalui perundingan terlebih dahulu antara bank dengan pihak nasabah yang bersangkutan.
Pemilikan barang akan dialihkan kepada nasabah secara propisional sesuai dengan cicilan yang sudah dibayar. Dengan demikian barang yang dibeli berfungsi sebagai agunan sampai seluruh biaya dilunasi.

Rukun dan Syarat Murabahah:
1.    Rukun
a.       Ada penjual.
b.      Ada pembeli.
c.        Ada obyek yg akan dijual-belikan (tangible)
d.      Ada harga jual yg disepakati kedua belah pihak.
e.       Akad jual beli.
2.    Syarat
a.       Pembeli dan penjual dlm keadaan cakap hukum.
b.       Barang yg dijual tidak termasuk kategori yg diharamkan.
c.        Barang yg dijual sesuai dgn spesifikasi pembeli. 
d.       Barang yg dijual secarahukum syah dimiliki penjual. 

Contoh:
MURABAHAH DGN PELUNASAN PADA AKHIR PERIODE
Harga beli  : Rp. 50.000.000,-
Harga jual  : Rp. 62.000.000,-
Laba                      : Rp. 12.000.000,-
Jangka waktu        : 3 bulan
Cicilan                   : Rp. 4.000.000,-/bln (labanya saja)
Pelunasan  : Rp. 54.000.000,-/bln (di akhir bulan ke 3)
MURABAHAH DGN PELUNASAN DIANGSUR
Harga beli  : Rp. 50.000.000,-
Harga jual  : Rp. 60.000.000,-
Laba                      : Rp. 10.000.000,-
Jangka waktu        : 12 bulan
Cicilan                   : Rp. 5.000.000,-/bln (pokok + laba)

b.    Pembiayaan Salam
Yaitu pembiayaan jual-beli di mana barang yang diperjual-belikan belum ada. Pembayaran barang dilakukan di depaqn oleh bank namun penyerahan barang dilakukan secara tangguh karena memerlukan proses pengadaannya. Setelah barang diserahkankepada bank maka bank akan menjualnya epada pembeli yang telah nenesan sebelumnya. Hal ini disebut salam paralel karena melibatkan pemesan dan bank, serta bank dan pelaksana yang bertanggung jawab atas realisasipesanan tersebut.
Rukun dan Syarat Salam:
1.      Rukun
a.       Muslam (pembeli)
b.      Muslam ilaih (penjual)
c.       Modal/ Uang
d.      Muslam Fiihi atau barang
e.       Shigat
2.      Syarat
a.       Modal harus diketahui
b.      Penerimaan pembayaran salam harus di temapat kontrak
c.       Barang harus jelas, bisa diidentifikasi, penyerahan barang dikemudian hari, dan sebagainya
Contoh:
Biasa dipraktekkan bagi pembiayaan produk pertanian. Sebagai contoh seorang pedagang besar sembako melakukan pemesanan 1000 ton beras yang tipe, kualitas, kuantitas dan harganya sudah ditentukan kepada seorang petani. Karena petani tersebut tidak memiliki modal kerja , maka bank akan membiayai modal kerja petani. Petani menerima dana di awal akad dari bank yang akan digunakan untuk kebutuhan pengadaan sarana produksi maupun kebutuhan proses penanaman hingga panen . Setelah panen, hasil beras sesuai spesifikasi yang petani.diminta akan diserahkan kepada bank. Selanjutnya bank akan menjual kepada pemesannya yaitu si pedagang besar dan bank akan menerima pembayaran sebagai sumber pelunasan pembayaran.
c.    Pembiayaan Istisna
Istishna adalah suatu transaksi jual beli antara mustashni’ (pemesan) dengan shani’i (produsen) dimana barang yang akan diperjual belikan harus dipesan terlebih dahulu dengan  kriteria yang jelas.
Secara etimologis, istishna itu adalah minta dibuatkan. Dengan demikian menurut jumhur ulama istishna sama dengan salam, karena dari objek/barang yang dipesannya harus dibuat terlebih dahulu dengan ciri-ciri tertentu seperti halnya salam. Bedanya terletak pada sistem pembayarannya, kalau salam pembayarannya dilakukan sebelum barang diterima, sedang istishna boleh di awal, di tengah atau diakhir setelah pesanan diterima.
Rukun dan Syarat Istishna:
1.    Rukun
a.       Ada pembuat/produsen
b.      Ada pemesan/pembeli.
c.       Ada barang/proyek yang dipesan.
d.      Ada kesepakatan harga jual.
e.       Ada pengikatan.
2.    Syarat
a.         Pihak yg berakad hrs cakap hukum.
b.        Produsen sanggup memenuhi persyaratan pemesanan
c.         Obyek yg dipesan jelas spesifikasinya.
d.        Harga jual adalah harga pesanan ditambah keuntungan.
e.         Harga jual tetap selama jangka waktu pemesanan
f.         Jangka waktu pembuatan disepakati bersama

Contoh Soal:
UIN berkeinginan untuk menambah sarana pendidikan berupa Laboratorium Audio Visual senilai Rp. 3 M. UIN  kemudian menghubungi BRI Syariah untuk membiayai proyek tersebut. Kontraktor yang sudah dikenal dalam pembuatan Laboratorium Audio Visual adalah PT. Sony.
     Harga Pesanan Proyek            : Rp. 3 Milyard.
     Jangka waktu pembangunan    : 1 tahun.
     Kontraktor                              : PT. Sony.
     Nasabah                                  : UIN
     Harga Jual pada UMY            : Rp. 4,8 Milyard.
     Cara Pelunasan                        : Cicilan selama 1 th (setelah                                        proyek selesai dibangun)
UIN akan membayar Hamisy Jidiyah (fee) sebagai uang tanda keseriusan pada waktu melakukan transaksi Istishna ini.
Besarnya Hamisy Jidiyah ini tidak ditentukan dan sepenuhnya menjadi wewenang BRI Syariah dan kesepakatan bersama dengan UIN.
     Hamisy Jidiyah bisa dibayar setiap bulan, 3 bulan, atau 6 bulan tergantung kesepakatan bersama antara BRI Syariah dengan UIN.
2.      Pembiayaan dengan Prinsip Sewa (Ijarah)
Pengertian pemberian sewa menyewa dapat didefenisikan sebagai transaksi terhadap penggunaan manfaat suatu barang dan jasa dengan pemberian imbalan,. Apabila obyek pemanfaatannya berupa barang, maka imbalannya disebut dengan sewa , sedangkan bila obyeknya berupa tenaga kerja maka imbalannya disebut upah Pada dasarnya ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu. 
Menurut Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No.09/DSN/MUI/IV/2000, Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat ) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri, dengan demikian dalam akad ijarah tidak ada perubahan kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna saja dari yang menyewakan kepada penyewa.
Pada akhir masa sewa, bank dapat saja menjual barang yang disewakan kepada nasabah.
Ada 2 ( dua ) jenis ijarah yaitu sebagai berikut.
a.       Ijarah Murni
yaitu suatu transaksi sewa-menyewa obyek tanpa adanya perpindahan kepemilikan yaitu obyek tetap dimiliki oleh si pemilik.
b.      Ijarah Muntahiya Bitamilik
yaitu suatu transaksi sewa menyewa di mana terdapat pilihan bagi si penyewa untuk memiliki barang yang disewa di akhir masa sewa melalui mekanisme sale and lease backIjarah Muntahiyyah Bit-Tamlik di beberapa negara menyebutkan sebagai Ijarah Wa Iqtina’ yang artinya sama juga yaitu sama juga yaitu menyewa dan setelah itu diakuisisi oleh penyewa ( finance lease ).
Oleh karena Ijarah adalah akad yang mengatur pemanfaatan hak guna tanpa terjadi pemindahan kepemilikan, maka banyak orang menyamaratakan ijarah dengan leasing. Hal ini disebabkan karena kedua istilah tersebut sama-sama mengacu pada hal – ihwal sewa-menyewa. Karena aktivitas perbankan umum tidak diperbolehkan melakukan leasing, maka perbankan Syari’ah hanya mengambil Ijarah Muntahiyyah Bit-Tamlik yang artinya perjanjian untuk memanfaatkan ( sewa ) barang antara Bank dengan nasabah dan pada akhir masa sewa, maka nasabah wajib membeli barang yang telah disewanya.

Rukun dan Syarat Ijarah:
1.      Rukun
a.       Penyewa (musta’ jir)
b.      Pemilik barang (mu’ajjir)
c.       Barang atau obyek sewaan (ma’jur)
d.      Harga sewa/manfaat sewa (ajran/ujran)
e.       Ijab Qabul
2.      Syarat
a.       Pihak yang saling telibat harus saling ridha
b.      Ma’ jur (Barang atau obyek sewa)
a)    Manfaat tersebut dibenarkan agama atau halal.
b)   Manfaat tersebut dapat dinilai dan diukur atau diperhitungkan.
c)    Manfaatnya dapat diberikan kepada pihak yang menyewa
d)   Ma’ jur wajib dibeli musta’ jir.

3.      Pembiayaan dengan Prinsip Bagi Hasil
Berdasarkan komposisi share modal bank dalam usaha nasabah, terdapat ( dua ) pola pembayaran, yaitu :
a.       Mudharabah 
Perjanjian pembiayaan/ penanaman dana dari pemilik dana (shahibul maal) kepada pengelola dana (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha tertentu yang sesuai syariah, dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan kepada pengelola (mudharib), akad kemitraan ini dibagi menjadi dua tipe yaitu:
1.      Mudharabah Mutlaqah
Yaitu pemilik modal memberikan kebebasan penuh kepada pengelola untuk menggunakan modal tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan.
2.      Mudharabah Muqayyad
Yaitu pemilik modal menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam menggunakan modal tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.

Rukun Dan Syarat Sah Akad Mudharabah:
Mudharabah merupakan kontrak yang melibatkan antara dua kelompok, yaitu pemilik modal (investor) yang mempercayakan modalnya kepada pengelola (mudharib) untuk digunakan dalam aktifitas ekonomi. Pembiayaan mudharabah tersebut tidaklah terlepas dari mekanisme pelaksanaan perjanjian yang telah ditetapkan berdasarkan syarat dan rukun dalam akad, sesuai dengan yang dikemukakan oleh ulama Fiqhiyah dan juga Dewan Syariah Nasional MUI tentang mudharabah (qiradh).
Rukun adalah sesuatu yang wajib ada dalam suatu transaksi sedangkan syarat adalah sesuatu yang keberadaannya melengkapi rukun. Namun syarat bukanlah rukun, jadi tidak boleh dicampurkan. Oleh karena itu keabsahan suatu perjanjian pembiayaan mudharabah tidak terlepas dari pada pemenuhan rukun dan syarat mudharabah itu sendiri.
Menurut ulama Hanafiyah, rukun mudharabah hanya satu, yaitu ijab dan qabul, sedangkan menurut ulama Syafi'iyah dan Hanabilah, rukun mudharabah ada enam yaitu:
1.    Rukun
a.       Pemilik barang yang menyerahkan barang-barangnya
b.      Orang yang bekerja, yaitu mengelola barang yang diterima dari pemilik barang
c.        Aqad mudharabah dilakukan oleh pemilik dengan pengelola barang
d.       Mal, yaitu harta pokok atau modal
e.       Amal, yaitu pekerjaan pengelolaan harta sehingga menghasilkan laba atau keuntungan
f.       Keuntungan.
Sedangkan menurut Sayyid Sabiq, rukun mudharabah adalah ijab dan kabul yang keluar dari orang yang memiliki keahlian, selain itu rukun mudharabah terbagi kepada lima, yaitu:Pemodal
a.        Pengelola
b.        Modal
c.         Nisbah keuntungan
d.        Sighat atau Akad
2.    Syarat
a.       Modal atau barang yang diserahkan berbentuk uang tunai. Apabila barang berbentuk emas atau perak batangan (tabar), emas hiasan (imitasi) atau barang dagangan lainnya, maka mudharabah tersebut batal dengan sendirinya.
b.      Bagi orang yang melakukan akad disyaratkan mampu melakukan tasharruf. Sedangkan akad yang dilakukan anak-anak yang masih kecil, orang gila dan orang-orang yang berada di bawah pengampuan, maka akadnya batal atau tidak sah.
c.       Modal harus diketahui dengan jelas agar dapat dibedakan antara modal yang diperdagangkan dengan laba atau keuntungan dari perdagangan tersebut yang akan dibagikan kepada dua belah pihak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.
d.      Keuntungan yang akan menjadi milik pengelola dan pemilik modal harus jelas persentasenya, seperti setengah, sepertiga atau seperempat.
e.       Melafazdkan ijab dari pemilik modal, misalnya: "Aku serahkan uang ini kepadamu untuk dagang, jika ada keuntungan akan dibagi dua" dan kata-kata qabul dari pengelola.
f.       Mudharabah bersifat mutlak, pemilik modal tidak mengikat pengelola harta untuk berdagang di negara tertentu, memperdagangkan barang-barang tertentu, pada waktu-waktu tertentu, sementara di waktu-waktu lain tidak karena persyaratan yang mengikat sering menyimpang dari tujuan akad mudharabah, yaitu keuntungan. Bila dalam mudharabah ada persyaratan-persyaratan, maka mudharabah tersebut menjadi rusak (fasid) menurut pendapat Imam Syafi'i dan Malik. Sedangkan menurut Abu Hanifah dan Ahmad 
b.      Musyarakah
Menurut Hanafiyah syirkah adalah : Perjanjian antara dua pihak yang bersyarikat mengenai pokok harta dan keuntungannya. Menurut ulama Malikiyah syirkah adalah : Keizinan untuk berbuat hukum bagi kedua belah pihak, yakni masing-masing mengizinkan pihak lainnya berbuat hukum terhadap harta milik bersama antara kedua belah pihak, disertai dengan tetapnya hak berbuat hukum (terhadap harta tersebut) bagi masing-masing.
Macam-macam musyarakah Secara garis besar musyarakah terbagi dua, yang pertama musyarakah tentang kepemilikan bersama, yaitu musyarakah yang terjaIi tanpa adanya akad antara kedua pihak. Ini ada yang atas perbuatan manusia, seperti secara bersama-sama menerima hibah atau wasiat, dan ada pula yang tidak atas perbuatan manusia, seperti bersamasama menerima hibah atau menerima wasiat, dan ada pula yang tidak atas perbuatan manusia, seperti bersama-sama menjadi ahli waris. Bentuk kedua adalah musyarakah yang lahir karena akad atau perjanjian antara pihak-pihak (syirkah al-“uqud). Ini ada beberapa macam:
a.    Syarikat ‘inan
yaitu syarikat antara dua orang atau beberapa orang mengenai harta, baik mengenai modalnya, pengelolannya ataupun keuntungannya. Pembagian keuntungan tidak harus berdasarkan besarnya partisipasi, tetapi adalah berdasarkan kesepakatan dalam perjanjian.
b.    Syarikat mufawadhah
yaitu syarikat antara dua orang atau lebih mengenai harta, baik mengenai modal, pekerjaan ataupun tanggungjawab, maupun mengenai hasil atau keuntungan.
c.    Syarikat wujuh
yakni syarikat antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan tingkat profesinal yang baik mengenai sesuatu pekerjaan/bisnis, dimana mereka membeli barang dengan kredit dan menjualnya secara tunai dengan jaminan reputasi mereka. Musyarakah seperti ini lazim juga disebut musyarakah piutang.
d.   Syarikat a’maal
yaitu syarikat antara dua orang atau lebih yang seprofesi untuk menerima pekerjaan bersama- sama dan membagi untung bersama berdasarkankesepakatan dalam perjanjian.

Rukun Dan Syarat  Musyarakah:
Dalam melaksanakan suatu perikatan, terdapat suatu rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Mengenai rukun perikatan atau sering disebut juga dengan rukun akad dalam Hukum Islam, terdapat beraneka ragam pendapat dikalangan para ahli fiqh. Dikalangan mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun aqad hanya sighat al-‘aqad, yaitu ijab dan kabul. 
Sedangkan syarat aqad adalah al-‘aqidain (subyek aqad) dan mahallul-‘aqd (obyek aqad). Alasannya adalah al-‘aqidanin dan mahallul ‘aqd bukan merupakan bagian dari tasharruf aqad (perbuatan hukum akad). Kedua hal tersebut berbeda diluar perbuatan akad. Berbeda halnya dengan pendapa dari kalangan Syafi’i termasuk Imam Ghazali dan kalangan mazhab Maliki termasuk Syihab al-Karakhi, bahwa al-‘aqidain dan mahallul ‘aqd termasuk rukun aqad karena hal tersebut merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya aqad.
1.    Rukun dan Syarat  Musyarakah
a.    Shigat (lafal) ijab dan qabul
b.    Pelaku akad, yaitu para mitra usaha
c.    Obyek akad, yaitu modal (mal), kerja (dharabah), dan keuntungan (ribh).

BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Pembiayan di bank syariah terbagi atas beberapa jenis berdasarkan bentuk akadnya. Secara umum aqda 3 jenis dasar transaksi pembiayaan di bank syariah yaitu :
1.      Pembiayaan  dengan prinsip  Jual-Beli, yaitu Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (Transfer Of Property) Tingkat keuntungan ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
contohnya adalah murabahah, salam, istishna
2.      Pembiayaan dengan prinsip  Sewa Menyewa, yaitu sebagai transaksi terhadap penggunaan manfaat suatu barang dan jasa dengan pemberian imbalan,. Apabila obyek pemanfaatannya berupa barang, maka imbalannya disebut dengan sewa , sedangkan bila obyeknya berupa tenaga kerja maka imbalannya disebut upah Pada dasarnya ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu. 
Contoh: adalah ijarah dan ijarah muntahiya bittamilk
3.       Pembiayaan dengan prinsip  Bagi hasil, yaitu  Berdasarkan komposisi share modal bank dalam usaha nasabah.
Contoh :musyarakah dan mudharabah


DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Syafi’I Antonio. 2011. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani
Atang Abdul Hakim. Fiqh Perbankan Syariah
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini. 2011. Perbankan Islam. Jakarta: Grafiti

Tidak ada komentar: